Luka Sejarah: Laut Bercerita

 Aku menyelesaikan Laut Bercerita, dengan dada sesak dan mata yang basah. Ini bukan hanya novel, ini luka sejarah yang membekas sampai ke hati. 

Biru Laut, seorang mahasiswa aktivis yang kritis, bersama pemuda-pemuda lain memperjuangkan harkat bangsa di tengah krisis negara yang tengah kacau.  

Mereka bersembunyi di gorong-gorong, berpindah-pindah tempat seperti tikus got. Tubuh-tubuh gesit mereka berpacu dengan aparat berseragam preman, yang membuntuti tanpa kenal ampun, hingga kematian datang menjemput mereka.


aku membeli buku ini tanpa banyak rencana. hanya ingin ada teman sunyi di rumah. saat ada sedikit rejeki lebih di akhir bulan, aku memilih menghadiahkan diri sendiri satu buku. 

namun saat itu tidak ada satu buku pun yang terlitas di benakku. namun saat berselancar di internet, ada hal yang menyentakku, satu komen di sebuah video platform tiktok, dia menulis

"beneran si, aku baca Novel "Cantik Itu Luka" sama "Laut Bercerita" perasaanku nano-nano banget, bagus banget novelnya"

apa maskud dari perasaan nano-nano tersebut? aku melihat balasan komen tersebut juga banyak yang beranggapan sepadan, novel itu bagus, aku harus membelinya. 

saat pertama membaca, jujur aku pusing karena penulis membawaku pada alur maju mundur yang membuatku berpikir keras. kayanya aku belum sampai tahap membaca ini. 

sampai akhirnya aku menundanya untuk membaca. novel tersebut, tetap ada di meja kantorku hingga 3 bulan lamanya, aku anggurkan seperti pajangan.

namun disuatu hari, ditengah bulan juni, aku merasa kelelahan menghadapi layar laptop, notifikasi kerjaan yang memburu, dan keheningan yang justru makin bising, aku mulai merasa jenuh. 

akhirnya aku coba narik diri sebentar. aku matikan bunyi notif, aku menaruh hp jauh-jauh, dan aku buka novel yang sudah lama aku tunda untuk dibaca.

Laut Bercerita.

entah kenapa, aku langsung tenggelam. tiba-tiba dunia yang tadinya berisik, berubah jadi sunyi, dan dalam. aku lupa semua kegaduhan di luar sana, karena aku lagi duduk bareng Biru Laut dan teman-temannya.

ya, namanya memang Biru Laut, kawan-kawanya memanggilnya Laut, unik dan melekat. nama adiknya juga sama begitu, Asmara Jati. mereka tumbuh di keluarga yang gemar membaca, kritis dan empati yang dalam. 

itu sebabnya Laut memilih jalan yang tak biasa, karena dia dalam dan peduli. 

Laut adalah bagian dari Winatra, sebuah organisasi bawah tanah berisi mahasiswa yang menolak tunduk pada ketidakadilan. mereka bergerak diam-diam, memperjuangkan suara yang dibungkam. 

mereka melawan dengan cara paling sunyi. winatra atau wira negara tanpa negara, bukan sekadar organisasi, tapi rumah bagi idealisme yang pada akhirnya dibayar mahal, bahkan dengan nyawa.

bergerak belakang, saat krisis moneter 1998, winatra mencoba menyuarakan yang tak bisa disuarakan. mereka mencetak selebaran, menyebarkan pamflet perlawanan, menyusun strategi di lorong-lorong sunyi.

Laut dan kawan-kawan diburu seperti buruan liar. mereka berpindah-pindah tempat hingga ke pulau sebrang, menyelinap dalam gelap, tidur tak tenang, makan seadanya. mereka bukan lagi mahasiswa biasa. mereka pelarian.

sampai akhirnya, gerak-gerik mereka terbaca. persembunyian mereka gagal total. rupanya ada penghianat, dan lebih menyakitkan lagi. ular itu datang dari dalam lingkaran sendiri.

Gusti, fotografer yang selama ini dipercaya untuk mendokumentasikan gerakan dan ia adalah penyokong terbaik ketika organisasi mulai retak.  

bagaikan serigala berbulu domba, ia anak seorang jenderal polisi pada era itu. bagaimana bisa informasi sepenting ini terlewat dari Kinan? orang paling rasional di organisai mereka. 

bahkan ular itu tidak menurunkan kecepatan blitz kameranya, saat Laut tergeletak lemas di atas balok es selama berjam-jam, di ruang penyiksaan. mati sudah kemanusiaan. 

Laut meringkuk dalam jeruji selnya, tubuhnya hanya diselimuti sarung kering. bajunya masih basah oleh lelehan es yang dipaksakan menyentuh tubuhnya berjam-jam.

dengan suara tertahan dan tubuh menggigil, ia berkata kepada Alex sahabatnya, sekaligus kekasih adiknya yang  sekarang berada di sel sebelah

"lex jika aku tidak bisa keluar dari sini, sampaikan pada Asmara bahwa aku meminta maaf telah meninggalkanya saat bermain petak umpat dulu, dia pasti akan mengerti, dan untuk Anjani sampaikan padanya temukan  diriku yang lain, di Cerita Pendek yang telah aku terbitkan di koran pada waktu itu"

"ya" 

jawab Alex singkat, keputusasaan terdengar jelas dari mulut mereka. 

Anjani merupakan kekasih Laut, mereka dekat saat berada di organisasi ini, namun saat kisah baru dimulai, mengapa perpisahan harus segara datang. 

rasa kehilangan Anjani amat sangat teramat dalam, begitu juga Ibu dan Bapak Laut. setiap hari minggu mereka masuk ke dalam kepompong, menjalankan skenario menunggu kepulangan Laut yang siapa tau muncul di depan rumah atau loncat dari jendela rumah. 

Bapak Laut menata empat piring di meja makan, sambil Ibu terus mengaduk kuah Tengkleng, makanan kesukaan Laut, lalu di meja sudah tersedia acar dan tempe orek beserta makanan pendamping lainya. 

mereka menunggu selama limabelas menit, dan jika Laut tidak datang maka Bapak akan berkata

"kita makan duluan saja ya, nanti Laut makan yang di hangatkan dari kulkas saja"

begitu seterusnya saat hari minggu, hingga empat tahun lamanya. 

hal ini tentu membuat Asmara kalang kabut, hanya dia yang bisa berfikir rasional di rumahnya. profesinya  sebagai dokter membuat dia mecari titik tengah, hingga ada suatu kabar, bahwa telah di temukan tulang belulang di pulau panjang. 

kabar itu, langsung dia sampaikan kepada orang tuanya

"buk, ada penemuan tulang manusia di pulau panjang, prediksinya sama, sudah empat tahun, kita harus kesana untuk lakukan investigasi bu"

"tulang apa nak? pak ini sudah pas belum gulainya"

"emmm, sudah enak buk, Laut pasti suka buk"

saat membaca part ini air mataku pecah, aku sedang membayangkan posisiku jika menjadi Asmara, dia  bukan hanya kehilangan abangnya, tp juga sosok Ibu dan Bapaknya. 

aku tidak ingin menceritakan secara rinci bagaimana Laut disiksa di ruang tahanan bersama ketigabelas kawannya. bagaimana mereka dijebloskan ke dalam sel tak beradab, bukan lagi sebagai manusia, tapi sebagai ancaman yang harus dilenyapkan.

yang ingin aku garis bawahi adalah bagaimana Leila S. Chudori menuliskan semua ini dengan riset yang dalam, dengan emosi yang tumpah ruah, dan dengan keberanian untuk menyuarakan luka sejarah yang nyaris dilupakan.

rasa sakit di novel ini begitu nyata, nyaris tak tertahankan. seperti judulnya, biru laut akhirnya kembali ke lautnya yang biru.

dalam keadaan seperti mati suri, ia menyampaikan pesan-pesan terakhirnya. 

pada Anjani, pada Ibu dan Bapaknya, kepada Asmara, dan pada semua yang ia cintai, dalam bayangan air, saat ikan-ikan kecil berenang di sekitarnya, dan ikan pari melintas di atas tubuhnya yang sunyi.

novel ini juga membuatku lebih empati, dan menyadari bahwa tidak semua pahlawan tercatat dalam buku sejarah. beberapa hanya dikenang dalam doa dan luka yang tak kunjung sembuh.

dan bagiku pahlawan tak selalu beruban dan berjasa panjang, kadang ia hadir dalam tubuh muda, yang memilih mati untuk bangsa, sebelum sempat hidup sepenuhnya.


aishameinn

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita dan Jarak

Batu Karang

Perayaan Patah Hati